Jumat, 02 Mei 2014

GBS



SINDROM GUILLAIN BARRE

A.     Definisi
      Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan cranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenarasi selaput mielin dari saraf perifer dan cranial (Muttaqin, 2008).
Sindrom Guillain barre merupakan sindrom klinik yang menyebabkan tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan cranial. Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologic.
Sindrom Guillain Barre adalah gangguan kelemahan neuromuscular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis sementara (Doenges, 1999).

B.     Etiologi
      Penyebabnya tidak di ketahui, tetapi respon alergi atau respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa sindrom tersebut berasal dari virus. Akan tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sejauh ini.
Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1.      Infeksi
2.      Vaksinasi
3.      Pembedahan
4.      Penyakit sistematik:
a.       Keganasan
b.      Systemic lupus erythematosus
c.       Tiroiditis
d.      Penyakit Addison
5.      Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.

C.     Manifestasi Klinik
      Terdapat variasi dalam bentuk awitannya. Gejala-gejala neurologic diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf cranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabakan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatakan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti di manifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien, hipertensi ortostatis), dan gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki.
Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan bentuk parestasia .
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi 10% menetap dengan residu ketidakmampuan.

D.    Patofisiologi
Akson bermielin mengonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membrane sel akson dengan cairan ekstraselular. Membrane sangat permeable pada nodus tersebut, sehingga konduksi mejadi baik.
      Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus yang lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada Sindrom Guillain Barre membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

E.      Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan diagnostik menurut (Doenges,1999)
1.      Fungsi lumbal berurutan
Memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal. Dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak 4-5 hari pertama mungkin diperlukan pemeriksaan seri Pungsi lumbal (perlu diulang untuk beberapa kali)
2.      Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembang sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang untuk unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fse akhir.
3.      Darah lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fse awal
4.      Foto ronsen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia
5.      Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapisitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.     Pengkajian
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre meliputi pemantauan terus menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena profounda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
1.      Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
2.      Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum maupun local seperti melehmahnya otot-otot pernapasan.
3.      Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada  pengkajian klien Guillan Barre Syndrom (GBS) biasanya di dapatkan keluhan yang berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut di antaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang memungkinkan terjadinya gangguan system saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastic yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
4.      Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat-obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah kompreherensifnya pengkajian.
5.      Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien Sindrom Guillain Barre meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress, meliputi: kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
6.      Pemeriksaan fisik
Pada klien Sindrom Guillan Barre biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada system pernapasan serta akumulasi secret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
a.      B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien Sindrom Guillain Barre adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Sinndrom Guillain Barre berhubungan akumulasi secret dari infeksi saluran napas.
b.      B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Sindrom Guillain Barre menunjukkan bradikardia akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c.       B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pada system lainnya.
1)     Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pada klien Sindrom Guillain Barre biasanya kesadaran klien komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
2)     Pengkajian Fungsi Serebral
Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan.
3)     Pengkajian Saraf Kranial
Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf cranial I-XII
a)      Saraf I. Biasanya pada klien SGB tidak ada kelainan dan fungsi penciuman.
b)     Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
c)      Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular.
d)     Saraf V. Pada klien SGB didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga menganggu proses mengunyah.
e)      Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
f)       Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g)     Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga, mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
h)     Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
i)        Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4)     Pengkajian sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada SGB tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
5)     Pengkajian reflex
Pemeriksaan reflex propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal.
Gerakan involunter, tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic, dan distonia.
6)     Pengkajian system sensorik. Parastesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d.      B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e.      B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f.        B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
B.     Penyimpangan KDM
C.    














Factor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset, meliputi adanya ISPA, infeksi gangguan gastrointestinal dan tindakan bedah saraf.
 



Selaput mielin hilang akibat dari respons alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan insufisiensi vascular.
 



Prose dimielinasi
 



Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf
 



Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial
 


 
















D.    Diagnosa Keperawatan
1.      Pola napas /bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan/paralisis otot pernapasan, kerusakan reflex gag/menelan, akumulasi sekret.
2.      Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuscular yang mempengaruhi reflex gag/batuk/menelan dan fungsi GI.
3.      Retensi urinarius berhubungan dengan kerusakan neuromuscular (kehilangan sensasi dan reflex sfingter), gangguan pemenuhan cairan.
4.      Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular (parastesia, disestesia).
5.      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi system saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan alran balik vena.
6.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular.
7.      Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori.
8.      Ansietas berhubungan dengan krisis situsional, ancaman kematian/perubahan dalam status kesehatan.

E.      Rencana Keperawatan
Diagnosa : Pola napas /bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan/paralisis otot pernapasan, kerusakan reflex gag/menelan, akumulasi sekret.
Masalah Keperawatan :  Pola napas/bersihan jalan napas, tidak efektif
Kemungkinan disebabkan oleh: - kelemahan/paralisis otot pernapasan
 - kerusakan refleks gag/menelan
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)

Tujuan : mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tak ada tanda distres pernapasan, bunyi napas bersih
Intervensi
Rasional
1.   Pantau frekuensi, kedalaman dan kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
2.   Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara (kalau pasien masih dapat berbicara).
3.   Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronki, mengi.


4.   Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi duduk bersandar.

5.   Siapkan untuk/pertahankan intubasi, ventilator mekanik sesuai kebutuhan.


Kolaborasi
6.   Berikan terapi suplementasi oksigen (yang telah dilembabkan) sesuai indikasi, dengan menggunakan cara pemberian yang sesuai, seperti kanula, masker oksigen, atau ventilator mekanik.
1.   Peningktan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik.
2.   Merupakan indikator yang baik terhadap gangguan fungsi pernapasan/menurunnya kapasitas vital paru.
3.   Peningkatan resistensi jalan napas dan/atau akumulasi sekret akan mengganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia).
4.   Meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya risiko aspirasi sekret.
5.   10% – 20% pasien mengalami gangguang pernapasan yang cukup berarti yang memerlukan intervensi/sokongan yang terus menerus.

6.   Mengatasi hipoksia. Pelembaban terhadap sekret (agar mudah dikeluarkan) dan menjaga kelembaban membran mukosa karena hal tersebut dapat menurunkan iritasi jalan napas.

Diagnosa : Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuscular yang mempengaruhi reflex gag/batuk/menelan dan fungsi GI.


Masalah Keperawatan  :  Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular yang mempengaruhi refleks gag/batuk/menelan dan fungsi GI.
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
Tujuan : mendemonstrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi.
Intervensi
Rasional
1.   Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan yang teratur.


2.  Catat masukan kalori tiap hari.

3.   Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan. Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan/yang menyenangkan bagi pasien untuk terus berusaha sendiri. Beri bantuan/beri makan sesuai kebutuhan.
4.   Anjurkan orang dekat untuk ikut berpartisipasi pada waktu makan, seperti memberi makan dan membawa makanan kesukaan pasien di rumah.
 Kolaborasi
5.   Berikan diet tinggi kalori atau protein nabati.
1.   Kelemahan otot dan refleks yang hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasi kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya.
2.   Mengidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya.
3.  Derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri. Harga diri dan perasaan kontrol oleh upaya yang diarahkan sendiri meskipun bila sangat terbatas.

4.   Memberikan waktu bersosialisasi yang dapat meningkatkan jumlah masukan makanan pada pasien.



5.   Makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.

Diagnosa : Retensi urinarius berhubungan dengan kerusakan neuromuscular (kehilangan sensasi dan reflex sfingter), gangguan pemenuhan cairan.
Masalah Keperawatan  :  Retensi urinarius
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular (kehilangan sensasi dan refleks sfingter).
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
Tujuan : mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius.
Intervensi
Rasional
1.  Catat frekuensi dan jumlah berkemih.

2.  Lakukan palpasi abdomen (di atas suprapubik) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
3.   Anjurkan klien untuk minum paling tidak 2000 ml/dalam batas toleransi jantung dan termasuk juga minum juice buah.
 Kolaborasi
4.   Lakukan kateterisasi pada residu urine (kateterisasi intermiten) sesuai kebutuhan.
1.   Memberikan informasi selama pengkajian dari fungsi kandung kemih.
2.   Jika refleks sfingter tidak ada, kandung kemih akan penuh dan selanjutnya akan menjadi distensi.
3.  Mempertahanakan lau filtrasi glomerulus dan menurunkan risiko infeksi dan pembentukan batu pada saluran perkemihan.

4.   Memantau keefektifan dari pengosongan kandung kemih.

Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular (parastesia, disestesia).
Masalah Keperawatan  :  Nyeri
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular (parastesia, disestesia).
Ditandai dengan: - sensasi nyeri akibat sentuhan kulit halus
- sakit, nyeri tekan pada otot/sendi
- perubahan tonus otot (flaksid, spastik)
- perilaku melindungi.
Tujuan : - melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
- mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri
- mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.  
Intervensi
Rasional
1.   Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10. Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut (wajah tampak menahan sakit, menarik diri/menangis).
2.   Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
3.   Lakukan perubahan posisi secara teratur. Berikan sokongan dengan bantal, busa atau dengan selimut.



4.   Instruksikan /anjurkan untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti visualisasi (menonton), latihan relaksasi yang berkembang, bimbingan imajinasi, biofeedback.
 Kolaborasi
5.   Berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika.
1.   Menganjurkan klien untuk “melokalisasi/mengetahui kuantitas” nyeri yang menunjukkan adanya perubahan, adanya perbaikan.

2.   Membantu klien mendapatkan kontrol perasaan tidak nyaman secara konstan yang disebabkan oleh parestesia dan menurunkan kekakuan/nyeri pada otot.
3.  Membantu menghilangkan kelelahan dan tegangan otot. Catatan: kadang-kadang klien menghendaki untuk berbaring telentang dalam posisi “frog-leg” (seperti katak).
4.   Memfokuskan kembali secara langsung dari perhatian/persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.


5.   Berguna untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah dicoba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik (kecuali kodein yang memiliki efek lebih kecil) harus dihindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan.

Diagnosa: Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi system saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan alran balik vena.

Masalah Keperawatan  :  perubahan perfusi jaringan
Kemungkinan disebabkan oleh: -disfungsi sistem saraf autonomik, yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena
-  hipovolemia
-berhentinya aliran darah vena (trombosis)
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
Tujuan : mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol.
Intervensi
Rasional
1.   Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.





2.   Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.









3.  Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman, berikan atau tanggalkan selimut, gunakan kipas angin ruangan dan sebagainya.








4.  Ubah posisi pasien secara teratur. Observasi adanya tanda-tanda iritasi pada kulit. Lakukan masase kulit diatas daerah yang menonjol. Pertahankan linen tetap kering, dan rata tidak ada lipatan-lipatan. Cuci dan bersihkan kulit dengan sabun  yang lunak dan beri bedak (talk). Berikan pengalas pada kulit sesuai kebutuhan.
5.  Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki. Observasi adanya edema pitting (cekung), eritema atau adanya tanda Homan positif.




Kolaborasi
6.   Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti Hb/Ht, elektrolit serum.
1.   Perubahan pada tekanan darah (hipertensi berat/hipotensi) terjadi sebagai akibat dari kehilangan alur dar saraf simpatik untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer (disfungsi otonom). Refleks pada tekanan darah selama perubahan posisi (dari satu sisi ke sisi yang lain) dpat tergasnggu yang menyebabkan terjadinya hipotensi postural.
2.   Sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari ganguan saraf autonom simpatis atau tidaak adanya hambantan terhadap refleks vagal yang menyebabkan henti jantung. Disritmia dapat juga terjadi sebagai akibat dari hipoksia, ketidakseikmbangan elektrolit atau penuru nan curah jantung (dampak sekunder pada gangguan tonus vaskuler dan arus balik vena).
3.   Perubahan pada tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu (seperti ketidakmampuan untuk berkeringat) dan pasien mungkin akan terpengaruh dengan suhu lingkungan sekitarnya. Penghangatan dan/atau pendinginan harus dilakukan dengan hati-hati un tuk mencegah trauma karena kepanasan atau kedinginan karena banyak pasien kemungkinan telah mengalam gangguan sensasi.
4.   Perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler dapat mengganggu perfusi seluler yang meningkatkan risiko iskema/kerusakan jaringan.







5.   Kehilangan tonus vaskuler dan vena yang statis meningkatkan risiko terbentuknya formasi trombus. Catatan: TVD (yang mungkin hilang sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman) dan menimbulkan emboli paru jika tidak terdeteksi dan ditangani dengan segera. 

6.   Hematokrit bermanfaat dalam menentukan hipovolemia/hipervolemia. Hiponatremia dapat berkembang yang mengisyaratkan adanya komplikasi.

Diagnosa : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular.
Masalah Keperawatan  :  Kerusakan mobilitas fisik
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular
Ditandai dengan: - Kehilangan koordinasi; paralisis parsial/komplet.
- Penurunan tonus/kekuatan otot
Tujuan : - Mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi (kontraktur, dekubitus).
- Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit
- Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktivitas yang diinginkan.
Intervensi
Rasional
1.  Kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur dan bandingkan dengan nilai dasarnya.
2.  Berikan posisi klien yang menimbulkan rasa nyaman. Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual.
3.  Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual, seperti duduk di sisi tempat tidur dengan sokongan, bangkit dari kursi, dan kemudian ambulasi sesuai kemampuan.
4.  Berikan lubrikasi/minyak artifisial sesuai kebutuhan.




Kolaborasi
5.   Konfirmasi dengan/rujuk kebagian terapi fisik/terapi okupasi.
1.   Menentukan perkembangan/munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan/harapan klien.
2.   Menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan risiko terjadinya iskemia/kerusakan pada kulit.

3.   Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap/terprogram, meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif.
4.   Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh yang halus ketika klien tidak dapat menutup/mengedipkan mata secara memadai.

5.   Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual/latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasikan alat bantu/brace untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Diagnosa : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori.
Masalah Keperawatan  : Perubahan persepsi sensori
Kemungkinan disebabkan oleh: - perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori.
-  peubahan status organ indera
-  ketidakmampuan berkomunikasi, bicara, atau berespon.
- perubahan kimia (hipoksia, ketidak seimbangan elektrolit).
Ditandai dengan: - hipoestesia/hiperestesia; nyeri
- perubahan respons umum terhadap rangsang
- inkoordinasi motorik
- gelisah, peka rangsang, ansietas.
- perubahan pola komunikasi
Tujuan :  - mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori.
 - mempertahankan mental/orientas umum.
 - mengidentifikasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan/komplikasi sensori. 
Intervensi
Rasional
1.   Pantau status neurologis secara periodik (seperti kemampuan berbicara, kemampuan berespon terhadap stimulasi nyeri; kesadaran akan keadaan panas/dingin, tumpul/tajam). Laporkan semua penemuan tersebut dalam tatanan yang teratur dan sistemik (dalam kardeks atau bentuk laiin).



2.   Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan klien.
3.   Berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut; jam (waktu); televisi (berita/pertunjukan); bercakap-cakap santai.
4.   Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada klien untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga.


Kolaborasi
5.  Bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan.




1.   Perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringkali cukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari/minggu. Proses penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit berakhir dan kebanyakan secara perlahan. Catatan yang teratur sangat membantu dalam perawatan untuk menemukan adanya komplikasi yang memerlukan intervensi/evaluasi selanjutnya.
2.   Menurunkan stimulus berlebihan yang dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping.


3.   Klien (biasanya sadar) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan.

4.   Membantu orang terdekat merasakan masuk di dalam hidup klien (menurunkan perasaan tidak berdaya/tiada harapan) dan menurunkan kecemasan klien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut.

5.   Penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, fibrinogen, dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien klasifikasi “berat” jika penanganan dalam dua minggu.

Diagnosa : Ansietas berhubungan dengan krisis situsional, ancaman kematian/perubahan dalam status kesehatan.
Masalah Keperawatan  : Ansietas
Kemungkinan disebabkan oleh: - krisis situsional
-  ancaman kematian/perubahan dalam status kesehatan.
Ditandai dengan: - peningkatan tegangan, gelisah, tak berdaya.
- ketakutan, tidak pasti, gelisah
- berfokus pada diri sendiri.
- rangsangan simpatis.
Tujuan :  - menerima dan mendiskusikan rasa takut
 - mengungkapkan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
 - mendemonstrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
- tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi. 
Intervensi
Rasional
1.   Tempatkan klien dekat ruang perawat, periksa klien secara teratur. Kaji kembali kemampuan klien untuk menggunakan alat panggil lampu secara regular.
2.   Berikan perawatan primer/hubungan staf perawat yang konsisten.
3.   Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyembuhan/perbaikan.
4.   Berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan klien termasuk orang terdekat.



1.     Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika klien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
2.   Meningkatkan saling percaya klien dan membantu untuk menurunkan kecemasan.
3.   Membawa perasaan takut secara terbuka, memberikan kesempatan untuk mengkaji persepsi/informasi/informasi yang salah dari klien dan memberikan jalan dalam pemecahan masalah pada keadaan yang diharapkan.
4.   Pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakukan aktivitas. Perlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam perencanaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap diri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 3. Jakarta: EGC.
Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindrome.pdf. Di unduh, 26 September 2013.
Muttaqin, arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika.