SINDROM GUILLAIN
BARRE
A.
Definisi
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom
klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf
perifer dan cranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenarasi
selaput mielin dari saraf perifer dan cranial (Muttaqin, 2008).
Sindrom Guillain barre merupakan sindrom
klinik yang menyebabkan tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan
cranial. Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh
adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum
terjadi serangan penurunan neurologic.
Sindrom Guillain Barre adalah gangguan
kelemahan neuromuscular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah
pada kelumpuhan total, tetapi biasanya paralisis sementara (Doenges, 1999).
B.
Etiologi
Penyebabnya tidak di ketahui, tetapi
respon alergi atau respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti
berkeyakinan bahwa sindrom tersebut berasal dari virus. Akan tetapi tidak ada
virus yang dapat diisolasi sejauh ini.
Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului
dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit
sistematik:
a. Keganasan
b. Systemic
lupus erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit
Addison
5. Kehamilan
atau dalam masa nifas
SGB
sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
C.
Manifestasi Klinik
Terdapat variasi dalam
bentuk awitannya. Gejala-gejala neurologic diawali dengan parestesia (kesemutan
dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas,
batang tubuh dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat
adanya paralisis yang lengkap. Saraf cranial yang paling sering terserang, yang
menunjukkan adanya paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring dan juga
menyebabakan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
Disfungsi autonom yang sering terjadi dan
memperlihatakan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf
simpatis dan parasimpatis, seperti di manifestasikan oleh gangguan frekuensi
jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien, hipertensi
ortostatis), dan gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Keadaan ini juga
dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki.
Seringkali pasien menunjukkan adanya
kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak
adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan bentuk parestasia
.
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan
penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi 10% menetap dengan residu
ketidakmampuan.
D.
Patofisiologi
Akson bermielin
mengonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang
perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus ranvier)
tempat kontak langsung antara membrane sel akson dengan cairan ekstraselular.
Membrane sangat permeable pada nodus tersebut, sehingga konduksi mejadi baik.
Gerakan
ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus
Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari
satu nodus ke nodus yang lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan
selaput mielin pada Sindrom Guillain Barre membuat konduksi saltatori tidak
mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
E.
Pemeriksaan Penunjang
Adapun
pemeriksaan diagnostik menurut (Doenges,1999)
1. Fungsi
lumbal berurutan
Memperlihatkan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal. Dengan peningkatan
protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak
akan tampak 4-5 hari pertama mungkin diperlukan pemeriksaan seri Pungsi lumbal
(perlu diulang untuk beberapa kali)
2. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan
perkembang sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan.
Fibrilasi (getaran yang berulang untuk unit motorik yang sama) umumnya terjadi
pada fse akhir.
3. Darah
lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fse
awal
4. Foto
ronsen
Dapat memperlihatkan berkembangnya
tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia
5. Pemeriksaan
fungsi paru
Dapat
menunjukkan adanya penurunan kapisitas vital, volume tidal, dan kemampuan
inspirasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian
terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre meliputi pemantauan terus menerus
terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi
lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan
mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena profounda dan emboli
paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
1.
Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
registrasi, dan diagnosis medis.
2.
Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum maupun local seperti
melehmahnya otot-otot pernapasan.
3.
Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui
karena untuk menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
Pada pengkajian klien Guillan Barre Syndrom (GBS) biasanya di
dapatkan keluhan yang berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut
di antaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan
kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas,
batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya
paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS
adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan
ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan
ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada
klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang
memungkinkan terjadinya gangguan system saraf otonom pada klien GBS yang dapat
mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastic yang mengancam kehidupan
dalam tanda-tanda vital.
4.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian
penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat-obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis
antibiotic dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat
menambah kompreherensifnya pengkajian.
5.
Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien Sindrom Guillain Barre
meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi
yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama masa stress, meliputi: kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan
perilaku akibat stress.
6.
Pemeriksaan fisik
Pada klien Sindrom Guillan Barre biasanya didapatkan
suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada system pernapasan
serta akumulasi secret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah didapatkan
ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
a.
B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan
peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan paling
sering didapatkan pada klien Sindrom Guillain Barre adalah penurunan frekuensi
pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan Sinndrom Guillain Barre berhubungan akumulasi
secret dari infeksi saluran napas.
b.
B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada
klien Sindrom Guillain Barre menunjukkan bradikardia akibat penurunan perfusi
perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c.
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan
pada system lainnya.
1)
Pengkajian Tingkat
Kesadaran
Pada klien Sindrom Guillain Barre biasanya
kesadaran klien komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat
kesadaran maka GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan
bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
2)
Pengkajian Fungsi
Serebral
Status mental: observasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
Pada klien Sindrom Guillain Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat
kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan.
3)
Pengkajian Saraf
Kranial
Pengkajian saraf cranial meliputi
pengkajian saraf cranial I-XII
a)
Saraf I. Biasanya
pada klien SGB tidak ada kelainan dan fungsi penciuman.
b)
Saraf II. Tes
ketajaman penglihatan pada kondisi normal
c)
Saraf III, IV, dan
VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular.
d)
Saraf V. Pada
klien SGB didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga menganggu proses
mengunyah.
e)
Saraf VII.
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral.
f)
Saraf VIII. Tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g)
Saraf IX dan X.
Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga, mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
h)
Saraf XI. Tidak
ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi
leher baik.
i)
Saraf XII. Lidah
simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.
4)
Pengkajian sistem
motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada SGB tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
5)
Pengkajian reflex
Pemeriksaan reflex propunda, pengetukan
pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal.
Gerakan involunter, tidak ditemukan adanya
tremor, kejang, tic, dan distonia.
6)
Pengkajian system
sensorik. Parastesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami
penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan
biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis
menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan
tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
B.
Penyimpangan KDM
C.
|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
|||||||||||
D. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas /bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan kelemahan/paralisis otot pernapasan, kerusakan reflex
gag/menelan, akumulasi sekret.
2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kerusakan neuromuscular yang mempengaruhi reflex
gag/batuk/menelan dan fungsi GI.
3. Retensi urinarius berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular (kehilangan sensasi dan reflex sfingter), gangguan pemenuhan
cairan.
4. Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
(parastesia, disestesia).
5. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
disfungsi system saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan
penurunan alran balik vena.
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular.
7. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori.
8. Ansietas berhubungan dengan krisis situsional, ancaman
kematian/perubahan dalam status kesehatan.
E. Rencana
Keperawatan
Diagnosa : Pola
napas /bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
kelemahan/paralisis otot pernapasan, kerusakan reflex gag/menelan, akumulasi
sekret.
Masalah Keperawatan : Pola napas/bersihan jalan napas,
tidak efektif
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: - kelemahan/paralisis
otot pernapasan
- kerusakan refleks gag/menelan
|
|
Ditandai dengan: (tidak dapat
diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
|
|
Tujuan : mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan
tak ada tanda distres pernapasan, bunyi napas bersih
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Pantau frekuensi, kedalaman dan kesimetrisan
pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan
membran mukosa.
2.
Catat adanya kelelahan pernapasan
selama berbicara (kalau pasien masih dapat berbicara).
3.
Auskultasi bunyi napas, catat
tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronki, mengi.
4.
Tinggikan kepala tempat tidur atau
letakkan pasien pada posisi duduk bersandar.
5.
Siapkan untuk/pertahankan
intubasi, ventilator mekanik sesuai kebutuhan.
Kolaborasi
6.
Berikan terapi suplementasi
oksigen (yang telah dilembabkan) sesuai indikasi, dengan menggunakan cara
pemberian yang sesuai, seperti kanula, masker oksigen, atau ventilator
mekanik.
|
1.
Peningktan distres pernapasan
menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang
mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik.
2.
Merupakan indikator yang baik
terhadap gangguan fungsi pernapasan/menurunnya kapasitas vital paru.
3.
Peningkatan resistensi jalan napas
dan/atau akumulasi sekret akan mengganggu proses difusi gas dan akan mengarah
pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia).
4.
Meningkatkan ekspansi paru dan
usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya risiko
aspirasi sekret.
5.
10% – 20% pasien mengalami
gangguang pernapasan yang cukup berarti yang memerlukan intervensi/sokongan
yang terus menerus.
6.
Mengatasi hipoksia. Pelembaban
terhadap sekret (agar mudah dikeluarkan) dan menjaga kelembaban membran
mukosa karena hal tersebut dapat menurunkan iritasi jalan napas.
|
Diagnosa :
Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular yang mempengaruhi reflex gag/batuk/menelan dan fungsi GI.
Masalah Keperawatan
: Perubahan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular
yang mempengaruhi refleks gag/batuk/menelan dan fungsi GI.
|
|
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
|
|
Tujuan : mendemonstrasikan berat badan stabil,
normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji kemampuan untuk mengunyah,
menelan, batuk pada keadaan yang teratur.
2. Catat masukan
kalori tiap hari.
3.
Anjurkan untuk makan sendiri jika
memungkinkan. Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan/yang
menyenangkan bagi pasien untuk terus berusaha sendiri. Beri bantuan/beri
makan sesuai kebutuhan.
4.
Anjurkan orang dekat untuk ikut
berpartisipasi pada waktu makan, seperti memberi makan dan membawa makanan
kesukaan pasien di rumah.
Kolaborasi
5.
Berikan diet tinggi kalori atau
protein nabati.
|
1.
Kelemahan otot dan refleks yang
hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasi kebutuhan akan metode makan
alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya.
2.
Mengidentifikasi kekurangan
makanan dan kebutuhannya.
3. Derajat
hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri. Harga
diri dan perasaan kontrol oleh upaya yang diarahkan sendiri meskipun bila
sangat terbatas.
4.
Memberikan waktu bersosialisasi
yang dapat meningkatkan jumlah masukan makanan pada pasien.
5.
Makanan suplementasi dapat meningkatkan
pemasukan nutrisi.
|
Diagnosa
: Retensi urinarius berhubungan dengan
kerusakan neuromuscular (kehilangan sensasi dan reflex sfingter), gangguan
pemenuhan cairan.
Masalah Keperawatan
: Retensi
urinarius
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular
(kehilangan sensasi dan refleks sfingter).
|
|
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
|
|
Tujuan : mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih
adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1. Catat
frekuensi dan jumlah berkemih.
2. Lakukan
palpasi abdomen (di atas suprapubik) untuk mengetahui adanya distensi kandung
kemih.
3.
Anjurkan klien untuk minum paling
tidak 2000 ml/dalam batas toleransi jantung dan termasuk juga minum juice
buah.
Kolaborasi
4.
Lakukan kateterisasi pada residu
urine (kateterisasi intermiten) sesuai kebutuhan.
|
1.
Memberikan informasi selama
pengkajian dari fungsi kandung kemih.
2.
Jika refleks sfingter tidak ada,
kandung kemih akan penuh dan selanjutnya akan menjadi distensi.
3. Mempertahanakan
lau filtrasi glomerulus dan menurunkan risiko infeksi dan pembentukan batu
pada saluran perkemihan.
4.
Memantau keefektifan dari
pengosongan kandung kemih.
|
Diagnosa
: Nyeri berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular (parastesia, disestesia).
Masalah Keperawatan
: Nyeri
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular
(parastesia, disestesia).
|
|
Ditandai dengan: - sensasi nyeri
akibat sentuhan kulit halus
- sakit, nyeri tekan pada otot/sendi
- perubahan tonus otot (flaksid, spastik)
- perilaku melindungi.
|
|
Tujuan : - melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
- mengungkapkan metode untuk
meredakan nyeri
-
mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi sesuai indikasi untuk
situasi individu.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak
nyaman dengan menggunakan skala 0-10. Observasi adanya tanda-tanda nonverbal
dari nyeri tersebut (wajah tampak menahan sakit, menarik diri/menangis).
2.
Berikan kompres hangat atau
dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhan sesuai
toleransi pasien secara individual.
3.
Lakukan perubahan posisi secara
teratur. Berikan sokongan dengan bantal, busa atau dengan selimut.
4.
Instruksikan /anjurkan untuk
menggunakan teknik relaksasi, seperti visualisasi (menonton), latihan
relaksasi yang berkembang, bimbingan imajinasi, biofeedback.
Kolaborasi
5.
Berikan obat analgetik sesuai
kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika.
|
1.
Menganjurkan klien untuk
“melokalisasi/mengetahui kuantitas” nyeri yang menunjukkan adanya perubahan,
adanya perbaikan.
2.
Membantu klien mendapatkan kontrol
perasaan tidak nyaman secara konstan yang disebabkan oleh parestesia dan
menurunkan kekakuan/nyeri pada otot.
3. Membantu
menghilangkan kelelahan dan tegangan otot. Catatan: kadang-kadang klien menghendaki untuk berbaring
telentang dalam posisi “frog-leg” (seperti katak).
4.
Memfokuskan kembali secara
langsung dari perhatian/persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu
menghilangkan rasa nyeri.
5.
Berguna untuk menghilangkan rasa
nyeri ketika metode lain yang telah dicoba tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Narkotik (kecuali kodein yang memiliki efek lebih kecil) harus
dihindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan
pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan.
|
Diagnosa: Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
disfungsi system saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan
penurunan alran balik vena.
Masalah Keperawatan
: perubahan
perfusi jaringan
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh:
-disfungsi sistem saraf autonomik, yang menyebabkan penumpukan vaskuler
dengan penurunan aliran balik vena
- hipovolemia
-berhentinya aliran darah vena (trombosis)
|
|
Ditandai dengan: (tidak dapat diterapkan; adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual)
|
|
Tujuan : mempertahankan perfusi dengan tanda vital
stabil, disritmia jantung terkontrol.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Ukur tekanan darah, catat adanya
fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika sedang
melakukan perubahan posisi pasien.
2.
Pantau frekuensi jantung dan
iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
3. Pantau
suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman, berikan atau tanggalkan
selimut, gunakan kipas angin ruangan dan sebagainya.
4. Ubah
posisi pasien secara teratur. Observasi adanya tanda-tanda iritasi pada
kulit. Lakukan masase kulit diatas daerah yang menonjol. Pertahankan linen
tetap kering, dan rata tidak ada lipatan-lipatan. Cuci dan bersihkan kulit
dengan sabun yang lunak dan beri bedak
(talk). Berikan pengalas pada kulit sesuai kebutuhan.
5. Tinggikan
sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki. Observasi
adanya edema pitting (cekung), eritema atau adanya tanda Homan positif.
Kolaborasi
6.
Pantau pemeriksaan laboratorium,
seperti Hb/Ht, elektrolit serum.
|
1.
Perubahan pada tekanan darah
(hipertensi berat/hipotensi) terjadi sebagai akibat dari kehilangan alur dar
saraf simpatik untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer (disfungsi
otonom). Refleks pada tekanan darah selama perubahan posisi (dari satu sisi
ke sisi yang lain) dpat tergasnggu yang menyebabkan terjadinya hipotensi
postural.
2.
Sinus takikardi/bradikardi dapat
berkembang sebagai akibat dari ganguan saraf autonom simpatis atau tidaak
adanya hambantan terhadap refleks vagal yang menyebabkan henti jantung.
Disritmia dapat juga terjadi sebagai akibat dari hipoksia, ketidakseikmbangan
elektrolit atau penuru nan curah jantung (dampak sekunder pada gangguan tonus
vaskuler dan arus balik vena).
3.
Perubahan pada tonus vasomotor
menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu (seperti ketidakmampuan untuk
berkeringat) dan pasien mungkin akan terpengaruh dengan suhu lingkungan
sekitarnya. Penghangatan dan/atau pendinginan harus dilakukan dengan
hati-hati un tuk mencegah trauma karena kepanasan atau kedinginan karena
banyak pasien kemungkinan telah mengalam gangguan sensasi.
4.
Perubahan sirkulasi/pengumpulan
vaskuler dapat mengganggu perfusi seluler yang meningkatkan risiko
iskema/kerusakan jaringan.
5.
Kehilangan tonus vaskuler dan vena
yang statis meningkatkan risiko terbentuknya formasi trombus. Catatan: TVD (yang mungkin hilang
sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman) dan menimbulkan emboli paru
jika tidak terdeteksi dan ditangani dengan segera.
6.
Hematokrit bermanfaat dalam
menentukan hipovolemia/hipervolemia. Hiponatremia dapat berkembang yang
mengisyaratkan adanya komplikasi.
|
Diagnosa
: Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan neuromuscular.
Masalah Keperawatan
: Kerusakan
mobilitas fisik
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: kerusakan neuromuskular
|
|
Ditandai dengan: - Kehilangan
koordinasi; paralisis parsial/komplet.
- Penurunan tonus/kekuatan otot
|
|
Tujuan : - Mempertahankan posisi
fungsi dengan tak ada komplikasi (kontraktur, dekubitus).
- Meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit
- Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktivitas yang diinginkan.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji
kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
Lakukan pengkajian secara teratur dan bandingkan dengan nilai dasarnya.
2. Berikan
posisi klien yang menimbulkan rasa nyaman. Lakukan perubahan posisi dengan
jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual.
3. Anjurkan
untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi
secara individual, seperti duduk di sisi tempat tidur dengan sokongan,
bangkit dari kursi, dan kemudian ambulasi sesuai kemampuan.
4. Berikan
lubrikasi/minyak artifisial sesuai kebutuhan.
Kolaborasi
5.
Konfirmasi dengan/rujuk kebagian
terapi fisik/terapi okupasi.
|
1.
Menentukan perkembangan/munculnya
kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan/harapan klien.
2.
Menurunkan kelelahan, meningkatkan
relaksasi, menurunkan risiko terjadinya iskemia/kerusakan pada kulit.
3.
Kegiatan latihan pada bagian tubuh
yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap/terprogram, meningkatkan
fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif.
4.
Mencegah kekeringan dari jaringan
tubuh yang halus ketika klien tidak dapat menutup/mengedipkan mata secara
memadai.
5.
Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan
otot secara individual/latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan
mengidentifikasikan alat bantu/brace untuk mempertahankan mobilisasi dan
kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
|
Diagnosa
: Perubahan persepsi sensori
berhubungan dengan perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori.
Masalah Keperawatan
: Perubahan persepsi sensori
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: -
perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi sensori.
- peubahan
status organ indera
-
ketidakmampuan berkomunikasi, bicara, atau berespon.
- perubahan kimia (hipoksia, ketidak seimbangan
elektrolit).
|
|
Ditandai dengan: -
hipoestesia/hiperestesia; nyeri
- perubahan respons umum terhadap rangsang
- inkoordinasi motorik
- gelisah, peka rangsang, ansietas.
- perubahan pola komunikasi
|
|
Tujuan : - mengungkapkan kesadaran tentang defisit
sensori.
- mempertahankan
mental/orientas umum.
-
mengidentifikasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan/komplikasi
sensori.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Pantau status neurologis secara
periodik (seperti kemampuan berbicara, kemampuan berespon terhadap stimulasi
nyeri; kesadaran akan keadaan panas/dingin, tumpul/tajam). Laporkan semua
penemuan tersebut dalam tatanan yang teratur dan sistemik (dalam kardeks atau
bentuk laiin).
2.
Berikan kesempatan untuk istirahat
pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang
sesuai pada batas kemampuan klien.
3.
Berikan stimulasi sensori yang
sesuai, meliputi suara musik yang lembut; jam (waktu); televisi
(berita/pertunjukan); bercakap-cakap santai.
4.
Sarankan orang terdekat untuk
berbicara dan memberikan sentuhan pada klien untuk memelihara keterikatan
dengan apa yang terjadi pada keluarga.
Kolaborasi
5. Bantu
melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan.
|
1.
Perkembangan dan munculnya kembali
tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringkali
cukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari/minggu. Proses
penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit berakhir
dan kebanyakan secara perlahan. Catatan yang teratur sangat membantu dalam
perawatan untuk menemukan adanya komplikasi yang memerlukan
intervensi/evaluasi selanjutnya.
2.
Menurunkan stimulus berlebihan
yang dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping.
3.
Klien (biasanya sadar) merasa
terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan.
4.
Membantu orang terdekat merasakan
masuk di dalam hidup klien (menurunkan perasaan tidak berdaya/tiada harapan)
dan menurunkan kecemasan klien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut.
5.
Penanganan ini membuang
imunoglobulin, komplemen, fibrinogen, dan protein fase akut yang menimbulkan
serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien klasifikasi “berat” jika
penanganan dalam dua minggu.
|
Diagnosa : Ansietas berhubungan dengan krisis situsional,
ancaman kematian/perubahan dalam status kesehatan.
Masalah Keperawatan
: Ansietas
|
|
Kemungkinan disebabkan oleh: -
krisis situsional
- ancaman
kematian/perubahan dalam status kesehatan.
|
|
Ditandai dengan: - peningkatan
tegangan, gelisah, tak berdaya.
- ketakutan, tidak pasti, gelisah
- berfokus pada diri sendiri.
- rangsangan simpatis.
|
|
Tujuan : - menerima dan mendiskusikan rasa takut
- mengungkapkan pengetahuan
yang akurat tentang situasi.
-
mendemonstrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
- tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang
sampai tingkat dapat diatasi.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tempatkan klien dekat ruang
perawat, periksa klien secara teratur. Kaji kembali kemampuan klien untuk
menggunakan alat panggil lampu secara regular.
2.
Berikan perawatan primer/hubungan
staf perawat yang konsisten.
3.
Diskusikan adanya perubahan citra
diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi,
kematian, masalah mengenai kebutuhan penyembuhan/perbaikan.
4.
Berikan penjelasan singkat
mengenai perawatan, rencana perawatan dengan klien termasuk orang terdekat.
|
1.
Memberikan keyakinan bahwa bantuan
segera dapat diberikan jika klien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki
kemampuan.
2.
Meningkatkan saling percaya klien
dan membantu untuk menurunkan kecemasan.
3.
Membawa perasaan takut secara
terbuka, memberikan kesempatan untuk mengkaji persepsi/informasi/informasi
yang salah dari klien dan memberikan jalan dalam pemecahan masalah pada
keadaan yang diharapkan.
4.
Pemahaman yang baik dapat
meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakukan aktivitas.
Perlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam perencanaan asuhan akan dapat
mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap diri atas kehidupannya yang
selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
|
DAFTAR PUSTAKA
Brunner &
Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn
E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta:
EGC.
Engram, Barbara.
1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah, Vol. 3. Jakarta: EGC.
Japardi, Iskandar.
2002. Sindrom Guillain Barre. http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindrome.pdf.
Di unduh, 26 September 2013.
Muttaqin, arif.
2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar